Kerajaan Plural Dari Kalbar
Kerajaan Tayan adalah tipikal berbeda dari sekian banyak kekeratonan di Kalbar. Melihat silsilah,
kiranya tak tepat jika kerajaan itu disebut sebagai kekeratonan Melayu, karena darah raja-raja setelah Raja Pertamanya adalah perpaduan Melayu dan Dayak. Ditambah lagi dengan pluralisme yang
tumbuh dan dihargai sejak lama Di Kerajaan itu
Oleh : Tom John Budi Yanto
Keraton Tayan
pada rekan-rekannya yang berjalan seraya menabuh Gendang dan Tawak (gong). Hari itu dilakukan
semacam Gladi bagi persiapan pelantikan Raja Tayan. Rombongan terdiri dari tiga penabuh dan satu
pawang. Mereka berjalan mengambil rute sepelemparan batu dari Masjid Jamik Darussalam hingga
kedepan Keraton Kerajaan Tayan di Desa Pedalaman.
Cuaca terik membuat baju golf bertuliskan US Open biru gelap kehitaman yang dikenakan lelaki
tersebut basah dibagian punggungnya. Topi lusuh bertuliskan Trelleborg yang dikenakannya tak bisa
menutupi wibawanya, berikut keriput yang dibuat kerut sedemikian rupa oleh pengalaman hidup.
Lelaki 66 tahun itu namanya Yustinus Bahari. Ia Pawang Pedagi (Dukun Pemimpin ritual kesenian dan
sesembahan suku Dayak Tobak). Sementara, para punggawa alat musik tradisonal itu adalah Laham,
Lukas Lantun dan Sulanto Minan, ketiganya adalah pewaris wewenang pengiring tetabuhan saat
pelantikan raja Tayan.
Yustinus dan rekan-rekannya punya peran penting dalam persiapan pelantikan Raja Tayan ke XIV.
Apalagi keberadaan ritual dan kesenian pedagi ini juga sudah ada turun temurun sejak nenek
moyangnya punya hubungan emosional khusus dengan kerabat kekeratonan ratusan tahun silam.
Demikian halnya dengan para penabuh Gendang dan Tawak, mereka mewarisi wewenang dari
Ayah, Kakek, Buyut dan Moyangnya. “Tak semua orang berwenang menabuh Gendang dan Tawak
ini, hanya keturunan atau minimal orang suku Dayak Tobak saja yang boleh menggunakannya
dalam pelantikan raja,” kisah Yustinus seraya menunjuk Tawak dan gendang yang terbuat dari Kayu
Kelangking (pohon buah Lengkeng) dan berusia ratusan tahun yang digunakan rekan-rekannya.
“Gendang itu kulitnya saja yang diganti dengan karung plastik bekas biar lebih tahan lama.
Sebelumnya kami kerap menggunakan kulit Kera atau kulit Bandau (Biawak-pen), namun karena
sering lapuk karena cuaca, akhirnya kami putuskan untuk diganti. Sementara kayu yang jadi
badannya sudah diwariskan sejak ratusan tahun lalu. Dan hanya digunakan saat-saat penting seperti
ini,” timpalnya.
Suku Dayak Tobak sendiri adalah warga kampung Entangis (sekarang dusun Empetai, Desa Melungai
Kecamatan Tayan-red). Secara historis, suku ini adalah suku pendukung kekeratonan Tayan yang
hidup turun-temurun sebagai kerabat dekat kerajaan. Dari suku ini pula banyak tumenggung dan
Panglima Dayak yang lahir dan punya akses langsung kepada penguasa dan pusaka kerajaan. Atas hak istimewa tersebut, konon sejak pelantikan Raja Tayan Pertama hingga Raja terakhir, warga
Entangis-lah yang selalu menjadi pengiring dengan kesenian Pedagi.
Kedekatan nenek moyang orang Entangis dengan keluarga kerajaan juga membuat mereka punya
hak untuk memegang pusaka kerajaan, yakni Bedil Kerajaan (dalam dialog setempat disebut Bedil
Kerajak-red). “Kami dan keluarga kerajaan meyakini kalau bukan keturunan kerajaan asli atau bukan
keturunan Dayak Tobak Enatangis asli, tak akan mampu mengangkat Bedil Kerajak. Sehingga sejak
lama selain keluarga raja, hanya suku Dayak Tobak yang berwenang menyentuh dan mengangkat
bedil tersebut,” ungkapnya.
Bedil Kerajak sendiri menurut lagenda adalah senjata pusaka kerajaan yang di dapat nenek moyang
orang Entangis saat sedang mencari ikan. Sang Penemu sendiri diberi amanat lewat mimpi, untuk
menyerahkan bedil tersebut kepada pihak kerajaan. Bedil tersebut menjadi salah satu pusaka.
Khasiatnya juga diyakini bisa menyembuhkan wabah penyakit dengan ritual khusus. “Warga
Entangis dan warga Dayak lain di Tayan dulu punya kewenangan untuk menyarankan langsung pada
raja untuk melaksanakan ritual penggunaan Bedil Kerajak, apalagi jika ada wabah penyakit yang
melanda, dibuatlah ritual pencucian bedil Kerajak, dimana airnya dipastikan bisa menyembuhkan
penyakit dan menghentikan wabah,” ungkap Gusti Akhmadi Abidin, anak ke tujuh Gusti Ismail, Raja
ke XIII Tayan.
Pernyataan Abidin tersebut juga dibenarkan oleh Yustinus. Bahkan dahulu, bukan hanya wabah
penyakit yang memerlukan ritual itu, namun sebelum warga Tayan berkebun dan berladang,
ritual itu juga dilakukan bersama dengan pihak keraton. Namun prosesnya air bedil kerajak tak
diminum atau dioleskan pada bagian yang sakit, tapi di gunakan untuk menetesi benih yang akan
ditanam. “Makanya sejak dulu keluarga keraton juga dekat dengan masyarakat Tayan, karena sejak
dulu hubungan itu juga dibangun lewat ritual-ritual itu, selain karena nenek moyang kami juga
dikenal dekat dengan kerabat istana,” papar Yustinus.
Tak hanya soal Pedagi dan Bedil Kerajak yang membuat warga Entangis punya hubungan khusus
dengan keraton, Yustinus mengungkapkan ada sebuah tempat yang dikeramatkan raja dan
masyarakat sekitar yang terletak di Entangis. Tempat tersebut juga menjadi semacam monumen
yang mengingatkan hubungan kekerabatan masa lalu antara dayak Tobak dengan Keluarga
kerajaan agar saling menjaga di kemudian hari. Saking keramatnya tempat tersebut, warga tidak
diperkenankan makan Babi, minum arak, dan berjudi di sekitar kawasan itu. Bahkan larangan
memasuki tempat tersebut juga diberlakukan bagi perempuan yang sedang menstruasi. “Kalau
salah satu pantang dilanggar, maka akan langsung hujan yang disertai dengan kilat dan guntur,” ujar
Yustinus.
Kisah percampuran darah Melayu-Dayak yang melatarbelakangi kekeratonan Tayan juga bukan
cerita baru. Dari beberapa sumber yang dihimpun harian ini, termasuk catatan sejarah kerajaan
Tayan yang dibuat oleh Gusti Ismail (Raja ke XIII Tayan) menyebutkan bahwa Raja Pertama Tayan,
yakni Gusti Lekar juga menikah dengan Encik Periuk, anak Kia Jaga, Pemimpin suku Dayak Tebang,
yang merupakan sahabat karib dan juga orang kepercayaan Gusti Lekar saat mengamankan Upeti
dari Tayan menuju Matan (sekarang Ketapang-red). Darah Dayak dari Encik Periuk, tersebut juga
disebut-sebut melatarbelakangi hubungan saling menjaga antara pihak keraton dengan masyarakat
Dayak di wilayah kekuasaan Kerajaan Tayan.
Sejak awal terbentuk, Kerajaan Tayan juga mendistribusikan kekuasaan dengan adil, salah
satunya dengan menunjuk sejumlah Lotay sebagai pemimpin suku Tionghoa dan menunjuka para
tumenggung dari berbagai sub suku Dayak. Para pimpinan suku itu punya akses langsung dengan
kekuasaan di keraton. Para pendatang yang kebetulan merupakan suku Tionghoa juga disediakan
tempat khusus, yakni di Pulau Tayan yang persis terletak di seberang depan keraton saat ini.
Catatan sejarah juga menunjukan cerita persatuan ditengah kemajemukan itu juga terulang pasca
vacum of power (kekosongan kekuasaan-red) setelah Jepang angkat kaki dari Tayan karena Hirosima
dan Nagasaki di bombardir dengan bom atom oleh Sekutu. Kerajaan Tayan saat itu juga tak memiliki
raja baru pasca ditangkapnya Gusti Jafar oleh pasukan Jepang dan diduga menjadi salah satu korban
peristiwa Mandor. Saat itu muncul sejumlah orang yang mengaku-ngaku sebagai panglima bahkan
menakut-nakuti penduduk.
Melihat situasi tersebut, sejumlah suku yang masih setia pada kerajaan membentuk beberapa regu
yang terdiri dari berbagai suku untuk mengamankan kerajaan dan sekitarnya. Pasukan pengamanan
tersebut terdiri dari Suku Dayak Tebang yang dipimpin oleh Panglima Gagak, Suku Dayak Desa dan
Tobak Dipimpin oleh Pang Dandan, dan Suku Melayu di pimpin oleh Gusti Muhamad Ali.
Pengamanan konsisten itu juga dilakukan hingga masa pergolakan pasca berakhirnya kekuasaan
Jepang dan penghalauan tentara NICA yang dibonceng sekutu. Persatuan seluruh kompenen
majemuk masyarakat Tayan ini juga terus terjaga, bahkan saat pemerintahan Keraton dipimpin Oleh
Gusti Ismail, hubungan baik antar suku juga terus dipertahankan hingga kini.
Wal hasil, Kerjaan Tayan dari dulu hingga kini lebih dikenal sebagai kerajaan pluralis ketimbang
kerajaan Melayu.(*)
No comments:
Post a Comment